Kamis, 28 April 2011

Bunda Hati Kudus (BHK)

 Sejarah
Kongregasi para frater Bunda Hati Kudus didirikan oleh uskup agung Utrecht, Mgr. Andreas Ignasius Schaepman.
Pendiri
Beliau lahir di Zwolle pada tanggal 4 September 1815. Setelah ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1838 beliau mula-mula bertugas sebagai pastor pembantu di Zwolle, lalu menjadi pastor paroki berturut-turut di Ommerschans, Assen dan Zwolle.
Ketika pada tahun 1853 hirarki keuskupan ditegakkan kembali, Mgr. Zwijsen diangkap menjadi uskup agung Utrecht sekaligus uskup den Bosch. Tetapi beliau tinggal di den Bosch.
Pada tahun 1857 Mgr. Zwijsen mengangkat pastor Schaepman menjadi rektor seminari yang bakal didirikan di Rijsenburg. Tahun 1860, Schaepman menjadi plebaan (pastor paroki katedral) di Utrecht dan uskup koajutor dari uskup agung Zwijsen. Pada tahun yang sama ia ditahbiskan menjadi uskup. Tanggal 4 Februari 1868 ia menggantikan Mgr.Zwijsen sebagai uskup agung di Utrecht. Ia meninggal pada tanggal 19 September 1882.

Schaepman adalah seorang yang praktis. Ia berusaha memecahkan problem-problem yang sedang ia hadapi. Ia merasa prihatin dengan kaum miskin. Jauh sebelum ketimpangan sosial menjadi fokus perhatian masyarakat pada umumnya, ia sudah mencoba mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan kaum miskin. Setelah diangkat menjadi uskup ia banyak menaruh perhatian dalam bidang pengajaran.

Mulai tahun 1848 undang-undang dasar menjamin kebebasan pengajaran. Pengajaran berdasarkan aliran agama tertentu diperbolehkan, tetapi subsidi pemerintah tetap hanya diberikan kepada sekolah-sekolah negeri.
Sekitar tahun 1870 di provinsi-provinsi utara Nederland sudah ada beberapa tarekat suster yang bermisi dalam pendidikan para pemudi, tetapi belum ada tarekat yang mengelola pendidikan para pemuda.
Untuk mengisi kekurangan inilah Mgr. Schaepman mengambil inisiatif untuk mendirikan suatu tarekat bruder.
Ia meminta nasihat Mgr. Zwijsen yang pada tahun 1844 telah mendirikan tarekat para frater CMM (tarekat Santa Perawan Maria, Bunda yang berbelaskasih) di Tilburg.

Sebutan ‘frater’
Agar dapat meneruskan tradisi historis ini, Schaepman kemudian memutuskan banhwa para anggota tarekat yang akal didirikannya akan memakai sebutan ‘frater’. Jadi berbeda dengan tarekat lain pada umumnya yang menggunakan sebutan ‘bruder’.
Para anggota tarekat Broeders van het Gemene Leven (kehidupan bersama) sewaktu hidupnya Geert Grote, yaitu dalam abad ke-14 juga memakai sebutan ‘frater’.  Sewaktu tarekat ini berjaya, banyak yang dikerjakan demi pendidikan katolik di Nederland Utara.


Mgr.Schaepman mempersembahkan tarekat yang ia dirikan kepada Bunda Maria dengan nama “Bunda Hati Kudus”. Waktu itu devosi kepada Bunda Hati Kudus masih merupakan sesuatu yang baru yang pada waktu itu lebih dikenal dengan gelar ‘Harapan Orang-orang Putus Asa’. Promotor utama gerakan ini adalah pendiri para Misionaris Hati Kudus, yaitu Pedre Chevalier. Devosi ini meluas dari Issoudun-Perancis. Di Nederland basilik di Sittard dipersembahkan kepada Bunda Hati Kudus.

Hubungi...

Provinsialat Frater BHK
Jl. Raya Karangwidoro 7
Malang
Telp. (0341) 567465

Novisiat Frater BHK
Jl. Raya Karangwidoro 7
Malang
Telp. (0341) 572103

Postulat Frater BHK
Jl. Kimang Buleng 3
Maumere
Telp. (0382) 22494

Frateran St. Vinsensius A Paulo
Jl. Kebraon Widya II 15 - 17
Karangpilang, Surabaya
Telp. (031) 7670152
 

Senin, 25 April 2011

Ordo Praedicatorum (OP)

Pendiri
St. Dominikus (1170-1221) adalah Pendiri Ordo Pengkotbah (Order of Preachers) disingkat OP yang disebut juga sebagai Ordo Dominikan. Santo Dominikus adalah Santo Pelindung dari para ibu yang berharap dan astronom.




Santo Dominikus dilahirkan di Calaruega, Spanyol pada tahun 1171 dari keluarga Felix de Guzman dan Bl. Jean of Aza. Ia melewati masa kecilnya tanpa peristiwa besar yang menyolok. Ia ditahbiskan menjadi imam saat masih belajar di Universitas di Palencia pada tahun 1198/1199. Ia menjadicanon regular di Osma, Spanyol yang mengikuti secara ketat aturan yang dikembangkan oleh St. Agustinus di bawah pimpinan Uskup Diego de Acebo.
Mei 1203, King Alfonzo VII mengutus uskup Diego untuk mengatur pernikahan putranya, Infante don Fernando, dengan putri dari keluarga kerajaan Denmark. Pernikahan tersebut diharapkan dapat mempererat relasi politik antara Castile (Spanyol), Denmark dan Prancis. Dalam perjalanan, tepatnya di Toulouse, Prancis Selatan, Dominikus yang menemani Uskupnya untuk pertama kali berhadapan dengan bidaah Albigensian di sebuah penginapan. St.Dominikus berdebat sepanjang malam dengan pemilik penginapan tersebut dan saat matahari terbit, pemilik penginapan tersebut kembali ke iman katholik.
Di Denmark, Uskup Diego bertemu dengan dengan Uskup Agung Andrew Sunesen dan rencana pernikahan disetujui. Pada tahun 1205, Uskup Diego mengadakan perjalan kedua ke Denmark untuk menjemput sang putri, tetapi rencana pernikahan dibatalkan sepihak oleh sang putri. Setelah misi di Denmark, Uskup Diego berkunjung ke Roma dan melanjutkan perjalanannya ke Montpellier, Prancis Selatan dimana bidaah Albigensian dan Catharist mengancam Gereja Katholik. Di sana, dia bertemu dengan tiga 'pontiff legates' Arnoud AmauryPeter of Castelnau, dan Maitre Raoul yang mengalami frustasi dalam misi mereka memerangi bidaah. Uskup Diego kemudian berinisiatif untuk membantu ketiga utusan paus tersebut dengan preaching mendicancy.
Pada tahun 1207 setelah setahun memerangi bidaah di Prancis selatan, uskup Diego memutuskan kembali ke Osma, sementara Dominikus melanjutkan misinya di Montpellier. Sebuah pukulan besar buat Dominikus saat mendengar kabar kematian uskup Diego pada 30 Desember 1207.
Duta kepausan Peter de Castelnan dibunuh oleh kaum heretis Albigenses pada 14 Januari 1208. Paus Innocent III selanjutnya melancarkan kampanye militer di bawah pimpinan Simon de Montford melawan Count Raymond VI, pemimpin kota Toulouse yang diduga sebagai perencana pembunuhan Peter of Castelnau, yang selanjutnya mewarnai perang saudara serta pembunuhan massal. Sementara para serdadu memerangi para bidaah dengan pedang dan kekerasaan, Dominikus memerangi mereka dengan berkhotbah.
Setelah 'Battle of Muret' pada 12 September 1203, Simon de Montford berhasil menaklukkan kota Toulouse dan menjadikan kota tersebut sebagai pusat pertahanannya. Di kota ini pula Dominikus menerima Peter Seila dan Thomas yang ingin ambil bagian dari karya Dominikus dan menjadi saudara dari Dominkus. Maka, Dominikus menerima mereka dalam pengucapan kaul religius. Untuk sementara, mereka tinggal di rumah pemberian Peter Seile. Kemudian Dominikus meminta izin dari Uskup Fulk, Uskup Toulouse, untuk pendirian 'ordo'-nya tersebut.
Pada September 1205, Dominikus pergi ke Roma untuk meminta konfirmasi untuk ordonya dan sekaligus menghadiri Konsili Lateran keempat yang berlangsung bulan November. Paus Innocent III menjanjikan konfirmasi tersebut dengan syarat bahwa Dominikus harus memilih dasar konstitusi dari ordonya sesuai dengan aturan-aturan yang telah diterima Gereja. Dominikus kemudian kembali ke Toulouse dan mengumpulkan saudara-saudaranya untuk 'First Dominican General Chapter' pada 29 Mei 1206 (Pantekosta). Mereka dengan keyakinan penuh memilih regula santi Agustini sebagai dasar konstitusi mereka.
Pada 16 Juli 1206, Paus Innocent III meninggal dunia dan Kardinal Cencio Savelli terpilih sebagai Paus berikutnya yang kemudian mengambil nama Honorius III. Pada 22 Desember 1216, Paus Honorius III menyetujui konfirmasi ordo ini, dan dengan itu OP atau Order of Preachers berdiri secara sah.
Di akhir hidupnya Dominikus mengkonsentrasikan diri untuk mengatur kehidupan ordo serta membuat perjalanan panjang ke Italia. Spanyol dan Prancis untuk berkotbah yang menarik begitu banyak kaum muda serta membangun rumah-rumah biara yang baru.
Ia meninggal pada tanggal 6 Agustus 1221 setelah konsili kedua dari ordo ini di Bologna, Italia. Dua belas tahun setelah kematiannya yakni pada 3 Juni 1234, dia dikanonisasikan menjadi orang kudus.
Pestanya dirayakan setiap Tanggal 8 Agustus. Dominikus juga mendorong umatnya untuk bersikap rendah hati dan melakukan silih. Suatu ketika seseorang bertanya kepada St Dominikus buku apakah yang ia pergunakan untuk mempersiapkan khotbah-khotbahnya yang mengagumkan itu. “Satu-satunya buku yang aku pergunakan adalah buku cinta,” katanya. Ia selalu berdoa agar dirinya dipenuhi cinta kasih kepada sesama. Dominikus mendesak para imam Dominikan untuk membaktikan diri pada pendalaman Kitab Suci dan doa. Tidak seorang pun pernah melakukannya lebih dari St. Dominikus dan para pengkhotbahnya dalam menyebarluaskan devosi Rosario yang indah.

Persaudaraan

Hidup dalam persaudaraan sejati, yang sehati dan sepikiran menuju Allah adalah tujuan pertama hidup komunitas pengkhotbah. Namun demikian persaudaraan ini tidak berhenti dengan menikmati kehadiran satu dengan yang lain. Seperti komunitas para Rasul, komunitas pengkhotbah berusaha menemukan Allah yang menang atas dosa dan maut secara bersama dan mewartakannya pada umat Allah. Hidup seorang Dominikan dikonsekrasikan untuk “berbicara dengan dan tentang Allah.” Dalam persaudaraan pengkhotbah ini kasih Allah menjadi nyata, dan hal ini memperkuat komitmen untuk terus melayani Allah secara selibat. Hidup komunitas juga penting dalam usaha mencari kebenaran. Usaha ini menjadi usaha bersama, di mana setiap orang yakin bahwa tidak ada seorang pun yang mempunyai monopoli atas kebenaran. Setiap orang selalu dapat memberikan pencerahan pada yang lain. Hidup Ordo Dominikan, oleh sebab itu, selalu dibangun atas dasar musyawarah untuk mencari kebenaran bersama.
Santo Dominikus juga melihat studi sebagai suatu bentuk spiritualitas. Sejak awal ia mengirim para pengikutnya yang pertama ke pusat-pusat studi Eropa untuk mewartakan Sabda sekaligus menimba ilmu. Santo Dominikus sendiri membuat peraturan di mana para pengikutnya diwajibkan terus menerus mempelajari, mendalami dan menghidupi Sabda. Hal ini dihidupi secara serius oleh pengikut-pengikutnya, seperti Santo Tomas Aquinas, sebagai Doktor Gereja yang ajarannya selalu memperkaya refleksi teologi, Santo Raymond Penyafort, pelindung para ahli hukum Gereja, atau Santo Paus Pius V, Paus yang mengemban tugas Konsili Trente. Di abad ke 20 ini, Ordo Dominikan melahirkan pemikir-pemikir Gereja yang memberi wawasan baru dalam hidup mengereja, seperti JM. Lagrange yang mendirikan pusat studi Kitab Suci di Yerusalem, Anawati yang mempelopori dialog dengan Islam, Yves Congar yang menekankan pentingnya Roh Kudus dan peranan awam dalam Gereja.

Dalam perkembangan selanjutnya, karisma studi ini dijalankan oleh para Dominikan dengan cara yang lebih beragam. Selain menekankan pentingnya memperdalam ilmu-ilmu gerejawi, para pengikut Santo Dominikus juga terlibat dalam disipline ilmu lainnya. Bidang sosial-politik diperkaya oleh kehadiran Bartolome de las Casas dan Montesino, yang menjadi tokoh pembebasan perbudakan orang-orang Indian di Amerika Latin. Jejak mereka saat ini diikuti oleh banyak anggota Ordo Dominikan yang bekerja dalam bidang ini termasuk Bapak Teologi Pembebasan, Gustavo Guiterrez. Bidang ilmu pengetahuan alam diperkaya oleh kehadiran Santo Albertus Magnus, ahli biologi dan zoology yang kemudian diangkat sebagai santo pelindung para ahli ilmu pengetahuan alam. Dominikan juga bekerja dalam bidang kesenian. Beato Angelico, misalnya, adalah pelukis abad pertengahan yang karyanya masih dikagumi banyak seniman sampai saat ini. Seorang Dominikan, dengan demikian, diharapkan mampu menerapkan dan melihat relevansi Sabda dalam berbagai aspek kehidupan.

Santo Dominikus mendapat julukan, saudara yang selalu gembira. Walaupun ia mengalami tantangan yang begitu banyak, bahkan dengan nyawanya yang terancam, Santo Dominikus tetap penuh pengharapan. Ia demikian, karena lewat doa dan studinya, ia menemukan bagaimana Allah bekerja secara nyata dalam hidup manusia. Doa dan studi menjadi mata air pengharapan dan kegembiraan. Persaudaraan pengkhotbah yang dibangun dalam doa dan studi pada akhirnya harus membuat seorang Dominikan menjadi pelayan umat Allah yang efektif. Ia diharapkan terus “berkontemplasi dan membagikan buah kontemplasinya.” Doa dan studi tidak boleh hanya berhenti demi keselamatan jiwa pribadi, tapi harus menjadi awal penyelamatan banyak jiwa. Oleh sebab itu, hidup seorang Dominikan dikonsekrasikan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa. Ia harus mampu pergi ke mana pun ia diperlukan. Saat ini Dominikan hadir di 104 negara.

Rabu, 20 April 2011

Serikat Puteri Kasih (PK)





Suster Puteri Kasih adalah puteri-puteri Gereja Katolik yang membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan dalam diri orang-orang miskin. Dalam Gereja Katolik, Serikat Suster-Suster Puteri Kasih berada dalam jajaran Serikat Hidup Kerasulan. Serikat atau kongregasi (sebutan untuk kelompok religius Katolik) suster Puteri Kasih ini didirikan oleh Santo Vincentius a Paulo dan Luisa de Marillac tahun 1633 di Perancis. Di seluruh dunia, serikat Puteri Kasih memiliki anggota sekitar 22.500 suster yang tersebar di negara-negara di lima benua. Pemimpin jenderalnya bernama Sr. Evelyn Franc. Di Indonesia Suster Puteri Kasih dikenal dengan singkatan Suster PK. Jumlah suster Puteri Kasih Indonesia: 90-an suster lebih.

Awal Sejarah Puteri Kasih


Pada abad ke-17 di Perancis terdapat kemiskinan yang hebat. Kemiskinan itu diakibatkan oleh perang saudara yang berkecamuk. Kemiskinan tidak hanya terjadi di desa-desa, yang biasanya menjadi tempat pertempuran, melainkan juga di kota-kota. Adalah seorang imam Katolik, Vincentius a Paulo namanya, salah satu dari para imam pembaharu Gereja Katolik Perancis, yang amat prihatin melihat kemiskinan pada waktu itu. Setelah pengalaman berkotbah di Folleville (1617) yang menjadi asal usul pendirian Kongregasi Misi (CM) dan Chatillon les Dombes yang menjadi titik tolak pendirian "konferensi cinta kasih" (atau persaudaraan ibu-ibu cinta kasih), Vincentius mengumpulkan gadis-gadis yang bersedia melayani orang miskin. Mereka bekerjasama dengan kelompok ibu-ibu cinta kasih untuk merawat dan melayani orang miskin. Sampai pada suatu saat, datanglah seorang gadis desa bernama Margaret Nasseau yang menyediakan diri untuk mengunjungi dan melayani orang-orang miskin secara total. Pengabdian Margaret Nasseau membuat Vincentius mengerti apa yang dikehendaki Tuhan untuk melayani umatnya yang miskin dan menderita. Margaret Nasseau sendiri wafat beberapa saat kemudian tahun 1633, karena terjangkit penyakit yang mematikan dari pasien orang miskin yang dia layani. Sesudah kematian Margaret Nasseau, Vincentius mengumpulkan beberapa gadis (empat atau lima orang) dan menyerahkannya kepada Luisa de Marillac, seorang janda suci dengan satu anak, untuk dibina. Berkumpulnya beberapa gadis inilah yang kemudian dimaknai sebagai awal pendirian kongregasi suster-suster Puteri Kasih. Dan, kehadiran mereka, menurut Vincentius a Paulo, adalah untuk melakukan apa yang dikerjakan oleh "Puteri Kasih Pertama", Margaret Nasseau, yaitu mengunjungi, melayani, merawat orang-orang miskin dimana pun mereka diutus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 29 November 1633. Dan, Luisa de Marillac dipandang sebagai "ibu" yang membina dan memimpin para gadis yang kelak akan memberi sumbangsih besar dalam karya cinta kasih kepada Gereja dan dunia.
Di dalam Sejarah Gereja, kehadiran Suster Puteri Kasih dipandang revolusioner dalam jamannya. Maksudnya, Suster Puteri Kasih adalah tarekat religius pertama yang dapat pergi leluasa untuk melayani orang-orang miskin. Sebab, pada waktu itu yang disebut tarekat religius harus tinggal di dalam biara-biara. Sementara, para suster Puteri Kasih tidak tinggal di dalam biara, melainkan pergi melayani dan mengunjungi mereka yang terlantar dan terluka.
Dalam sejarahnya, para Suster Puteri Kasih adalah tarekat religius yang banyak bertugas di garis depan, seperti pada waktu perang mereka bertugas untuk merawat para korban perang maupun serdadu-serdadu yang terluka. Ketika kemiskinan di Eropa merebak hebat seiring dengan revolusi Perancis yang tidak kunjung selesai, para suster ini mencurahkan tenaganya untuk melayani mereka, membagi sup hangat, mengobati yang sakit. Sesudah Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua para suster Puteri Kasih banyak menangani rumah-rumah sakit. Saat ini seiring dengan jumlah anggota yang terus menyusut, mereka mencurahkan diri dalam pelayanan-pelayanan yang lebih fleksibel untuk orang-orang miskin baru, seperti penderita AIDS, orang-orang kusta, anak-anak yatim piatu, merawat korban bencana alam, pendidikan sekolahan, pelayanan kesehatan di klinik-klinik, dan pastoral orang muda.
Ketika revolusi Perancis jumlah para suster Puteri Kasih cukup banyak. Tetapi pada abad XVIII-XIX, seperti banyak kongregasi religius lain, Puteri Kasih mengalami badai penderitaan. Tidak sedikit para Puteri Kasih yang wafat sebagai martir.

Semangat Puteri Kasih 

Semangat para suster Puteri Kasih tergambar secara nyata dalam lambang logonya, yang bertuliskan: Caritas Christi urget nos. Artinya, "Cinta Kasih Kristus mendorong kami." Tulisan ini mengelilingi gambar hati yang bernyala yang di depannya terdapat gambar Salib. Ketika para suster Puteri Kasih menghayati kehadirannya dalam lambang hati yang bernyala, ketika itu seorang Puteri Kasih adalah pribadi penuh cinta, cinta Kristus sendiri, yang memberi diri seutuhnya untuk melaksanakan kehendak Allah, yaitu melayani dan mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang miskin. Identitas hidup Puteri Kasih adalah cinta, cinta Kristus sendiri. Kata Santo Vincentius berkaitan dengan panggilan dan perutusan Puteri Kasih: "Kalian adalah Puteri-Puteri Kasih yang miskin yang mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah untuk pelayanan mereka yang miskin."
Ciri khas Puteri Kasih sejak awal pendiriannya adalah bahwa mereka menghayati hidup komunitas, komunitas untuk pelayanan kepada orang miskin bagaikan para rasul Yesus Kristus. Meskipun para Suster Puteri Kasih menjalani hidup aktif, mereka tidak jatuh dalam aktivisme. Mereka juga mengontemplasikan Kristus dan bersatu dengan-Nya dalam hati dan dalam hidup orang-orang miskin yang dilayani. Dan, dalam pelayanan mereka menghadirkan Kerajaan Allah.
Menurut Vincentius a Paulo, bila seorang Suster Puteri Kasih berjumpa dengan orang miskin sepuluh kali dalam sehari, sepuluh kali itu pula mereka berjumpa dengan Yesus. Di sini, dalam karya nyata untuk orang miskin, seorang Suster Puteri Kasih masuk dalam hubungan mesra dengan Yesus sendiri.

Puteri Kasih di Indonesia
Kedatangan Awal
Puteri Kasih di Indonesia berawal dari kedatangan tiga suster pertama, Sr. Andrea PK, Sr. Henriette PK, dan Sr. Amelia PK pada tahun 1931 atas undangan dari Prefek Apostolik Surabaya, Mgr. Theophile de Backere CM. Mereka pertama-tama bertugas di rumah panti asuhan Don Bosco, Surabaya. "Jumat pagi pukul 06.00 kami sudah duduk di kereta api dan pukul delapan malam kami akan tiba. Cuaca amat panas dan perjalanan sangat melelahkan akan tetapi kedatangan kami di ons Indie (Indonesia kita) ini melupakan segala kelelahan perjalanan," kisah dari Sr. Andrea van de Laak, PK sebagai kalimat pembuka dari surat pertamanya.
Para Suster Puteri Kasih dari Belanda dari tahun 1931 hingga tahun 1939 (tahun terakhir sebelum Perang Dunia II) 

sudah mencapai 19 suster. Sementara periode 1940 sampai 1948 merupakan periode gelap dari sudut sejarah dunia, Indonesia, maupun karya pelayanan para suster PK. Mereka mengalami susah dan deritanya Perang Dunia II. Diantara mereka, terdapat Sr. Louise yang meninggal karena kekurangan makanan di interniran Jepang Semarang. Kedatangan misionaris selanjutnya baru mungkin tahun 1948. Sampai tahun 1964, tahun terakhir kedatangan para suster misionaris PK Belanda, para suster semuanya ada 32 orang. Dari jumlah itu, yang paling lama bekerja adalah Sr. Ludgera Gales PK (50 tahun bekerja di Indonesia). Ia banyak mengabdi untuk karya rehabilitasi penderita kusta di Kediri.

Karya Saat Ini
Saat ini, para suster Puteri Kasih mengabdi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di keuskupan Surabaya, Malang, Jakarta, pedalaman Kalimantan Barat, Batulicin Kalimantan Selatan, dan siap melayani para korban bencana alam dan kebutuhan mendesak. Dalam melayani orang miskin, para Suster Puteri Kasih banyak menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga dari masyarakat dari segala golongan. Selain itu, beberapa suster juga berkarya misi di luar negeri, seperti di Jepang dan Perancis.
Di Surabaya, para suster PK melayani di Panti Asuhan Don Bosco, Jalan Tidar 115. Di Panti Asuhan ini, para suster melayani anak-anak dengan penuh kasih. Dari beberapa alumni terdapat nama-nama penting yang menjadi pelayan Gereja, seperti Romo Tondowidjojo CM, Romo Marsup CM, Romo Uroto Sastro Pr (almarhum) dan beberapa usahawan di Surabaya. Selain panti asuhan, para suster berkarya pula di sekolah-sekolah TK, SD, dan SMP. Sekolah-sekolah ini umumnya dimaksudkan untuk pelayanan pendidikan yang bermutu bagi anak-anak dari keluarga-keluarga kurang mampu. Di samping sekolah, para suster PK juga menanggapi kebutuhan-kebutuhan baru, seperti pelayanan poliklinik dan tempat penitipan anak (TPA).
Di Kediri, para suster PK melayani karya-karya TK, SD, dan SMP St. Maria. Disamping Rumah Provinsialat, Jalan Brawijaya 63 juga merupakan rumah pembinaan, yang disebut Rumah Seminari, dibina para calon Suster PK. Di kota Kediri, para suster juga melayani dengan penuh kasih para nenek-nenek jompo, Panti Wreda di Jalan Dandangan III/29; pelayanan kesehatan, pelayanan rumah retret, penitipan anak-anak, koperasi kredit untuk pemberdayaan ekonomi lemah, karya pastoral untuk pemberdayaan para buruh perempuan di pabrik rokok, dan pelayanan untuk rehabilitasi para penderita kusta.
Di Garum, dimana terdapat Seminari Garum, para suster PK disamping terlibat dalam pembinaan awal para calon imam juga memberikan pelayanan kesehatan di poliklinik.
Di Bojonegoro, para suster berkarya di asrama anak-anak perempuan yang belajar dan melayani pendidikan tingkat TK dan SD; sementara di Tulungagung, mereka juga berkarya dengan penuh dedikasi bagi anak-anak TK, SD dan SMP; di Cepu, para suster bertekun melayani anak-anak kurang mampu dengan asrama dan pelayanan kesehatan di BKIA, serta membantu pelayanan pastoral di paroki.
Di Malang, mereka terlibat dengan hati untuk mengabdi keluarga-keluarga kurang mampu dengan pelayanan kesehatan, penyediaan rumah sewa sederhana, dan asrama serta pendidikan kursus komputer bagi anak-anak.
Di Jakarta, dengan didukung penuh oleh Gereja Paroki maupun keuskupan agung Jakarta, para Suster PK tinggal bersama keluarga-keluarga miskin di lingkungan kumuh di Cilincing, Jakarta dan di Warakas Priuk, Jakarta. Mereka berkarya bersama dan untuk mengabdi para nelayan serta keluarga-keluarga miskin. Mereka melakukan bimbingan belajar, pelayanan gizi bagi anak-anak, pelayanan kesehatan, dan bersama para dokter muda melayani pula pengobatan yang diperlukan bagi orang-orang miskin di sana.
Di Banjarmasin, tepatnya di Bati-Bati, para suster PK mengabdi mereka yang sudah jompo dalam suatu asrama bekerjasama dengan donatur-donatur di sana dan keuskupan Banjarmasin; sementara di Batulicin, mereka membantu paroki dalam pelayanan pastoral dan bimbingan belajar anak-anak. Mereka terjun ke wilayah-wilayah yang terpencil dan sulit dijangkau.
Di Serawai, Pedalaman Kalimantan Barat, termasuk keuskupan Sintang, Para Suster PK bersama para Romo CM berkarya di asrama dan membantu bimbingan belajar bagi anak-anak miskin, terpencil di sana. Mereka adalah anak-anak dan masa depan keluarga mereka, keluarga Dayak. Para Suster PK melayani dengan penuh kasih orang-orang Dayak di sana.
Para suster PK juga saat ini telah mengirim beberapa susternya untuk tugas misi ke luar negeri, di antaranya ke Jepang dan Perancis, dan akan menyusul ke wilayah-wilayah dimana kehadiran mereka dibutuhkan

HUBUNGI:
Rumah Pusat Puteri Kasih
Jl. Brawijaya no. 63 

Kediri 64123
telpon/fax: 0354 681330.

Senin, 18 April 2011

Congregatio Sanctissimi Redemptoris (C.Ss.R)


Sekilas Tentang Pendiri 
Santo Alfonsus Maria de Liguori, Uskup dan Pujangga Gereja. Lahir pada tanggal 27 September 1696 di sebuah kota dekat Napoli, Italia pada tanggal 27 September 1696. Ia meninggal dunia di Nocera pada tanggal 1 Agustus 1787.
Alfonsus berasal dari sebuah keluarga bangsawan Kristen yang saleh. Orangtuanya, Joseph de Liguori dan Anna Cavalieri mendidik dia dengan baik dalam hal iman dan cara hidup Kristiani. Ayahnya berpangkat Laksamana dalam jajaran militer Kerajaan Napoli. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila Alfonsus memperoleh pendidikan ala militer dengan disiplin yang keras. Sekali seminggu ia disuruh tidur di lantai tanpa alas. Maksudnya ialah agar ia terbiasa dengan pola hidup yang keras dan tidak manja.
Sejak kecil Alfonsus sudah menunjukkan bakat-bakat yang luarbiasa. Tak terbayangkan bahwa ia dalam usianya yang begitu muda, 16 tahun, sudah meraih gelar Doktor Hukum di Universitas Napoli, dengan predikat “Magna cum Laude”. Karyanya sebagai seorang Sarjana Hukum dimulainya dengan menjadi advokat/pengacara. Ia selalu menang dalam setiap perkara yang dibelanya. Karena itu ia banyak mendapat tanda penghargaan dari orang-orang yang telah ditolongnya.
Pada tahun 1723 ia diminta membela satu perkara besar. Untuk itu ia berusaha keras mengumpulkan dan meneliti berbagai data tentang perkara itu. Namun keberuntungan rupanya tidak memihak dia. Karena suatu kesalahan kecil ia akhirnya dikalahkan oleh pengacara lawannya. Dengan muka pucat pasi ia beranjak meninggalkan gedung pengadilan. la mengakui lalai dalam meneliti semua data penting dari perkara itu. la mengalami shock berat dan selama tiga hari ia mengurung diri dalam biliknya merenungi kekalahannya.
Di satu pihak kekalahannya itu sungguh menekan batinnya tetapi di pihak lain kekalahan itu justru menjadi pintu masuk baginya untuk menjalani kehidupan bakti kepada Tuhan dan sesama. Setelah banyak berdoa dan merenung di depan Tabernakel, ia menemukan kembali ketenangan batin. Ketenangan batin itu menumbuhkan dalam hatinya suatu hasrat besar untuk menjadi seorang rohaniwan. Ketika sedang melayani orang di rumah sakit sebagaimana biasanya, ia mendengar suatu suara ajaib berkata: “Alfonsus, serahkanlah dirimu kepadaKu”. Alfonsus terhentak sejenak karena suara ajaib itu terdengar begitu jelas. Lama kelamaan, ia sadar bahwa suara itu adalah suara panggilan Tuhan. Kesadaran ini mendesak dia untuk menentukan sikap tegas terhadap suara panggilan itu. Ia mengambil keputusan untuk menjadi seorang rohaniwan yang mengabdikan diri seutuhnya kepada Tuhan. Keputusan itu disampaikan kepada orangtuanya. Ayahnya sangat kecewa dan tidak mau lagi bertemu dengan dia. Biara pun berkeberatan menerimanya karena alasan kesehatan. Syukurlah uskup setempat meluluskan niat bekas advokat itu. Semenjak itu ia dengan tekun mempelajari teologi dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar bisa menjadi seorang imam praja yang baik. Kesungguhan persiapannya itu terutama dilatarbelakangi oleh cara hidup imam-imam masa itu yang kurang mencerminkan keluhuran martabat imamat, dan karenanya umat sering memandang rendah mereka.
Alfonsus kemudian ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1726. Imam muda ini begitu cepat terkenal di kalangan umat karena kotbahnya yang menarik dan mendalam. Selain menjadi seorang pengkotbah
ulung, la pun menjadi bapa pengakuan yang disenangi umatnya. Karyanya sejak awal kehidupannya sebagai imam diabdikannya kepada orang-orang miskin dan pemuda-pemuda gelandangan di kota Napoli. Ia berusaha mengumpulkan mereka untuk memberi pelajaran agama dan bimbingan rohani.

Pada tahun 1729, ia menjadi imam kapelan di sebuah kolese yang khusus mendidik para calon imam misionaris. Di sana ia berkenalan dengan Pater Thomas Falciola, seorang imam yang memberi inspirasi dan dorongan kepadanya untuk mendirikan sebuah institut yang baru.
Kepadanya Pater Falciola,menceritakan tentang Para suster binaannya di Scala yang menghayati cara hidup yang keras dalam doa dan matiraga. Terdorong oleh inspirasi da semangat yang diberikan Pater Falciola, ia kemudian mendirikan sebuah tarekat religius baru di Scala pada tanggal 9 Nopember 1732. Tarekat ini diberinya nama ‘Congregatio Sanctissimi Redemptoris (C.Ss.R)’, dan mengabdikan diri di bidang pewartaan Injil kepada orang-orang desa di pedusunan. Tanpa kenal lelah anggota-anggota tarekat ini berkotbah di alun-alun, mendengarkan pengakuan dosa dan memberikan bimbingan khusus kepada muda-mudi, pasangan suami-isteri dan anak-anak.

Pada umurnya yang sudah tua (66 tahun), ia diangkat menjadi Uskup Agata, kendatipun ia sangat ingin agar orang lain saja yang dipilih. Sebagai uskup, ia berusaha membaharui cara hidup para imamnya dari
seluruh umat di keuskupannya. Selain itu, ia menulis banyak buku, di antaranya buku Teologi Moral yang terus dicetak ulang sampai abad ini. Tulisan-tulisannya sangat membantu imam-imam teristimewa dalam bidang pelayanan Sakramen Tobat. Dengannya mereka bukan saja mengemban tugas itu dengan penuh kasih sayang, melainkan juga memberikan bimbingan yang tepat kepada umat.

Karena sering jatuh sakit, ia beberapa kali meminta boleh mengundurkan diri sebagai uskup, namun permohonannya baru dikabulkan ketika ia berumur 80 tahun. Ia diperbolehkan kembali ke biara. Pada masa terakhir hidupnya sangatlah berat karena penyakit yang dideritanya dan serangan para musuh terhadap kongregasinya. Akhirnya pada tahun 1787, ketika berusia 91 tahun, ia meninggal dunia dengan tenang di Pagani, dekat Napoli, Italia.





Karya-Karya Redemptoris
Para redemptoris, baik imam maupun bruder, hidup dalam komunitas dan berkarya 
bersama sebagai komunitas dalam berbagai bidang. Pada Kapitel Propinsi Redemptoris Indonesia 2010 telah dirumuskan prioritas karya:
  1. Karya Misi Umat
  2. Karya Pastoral Parokial
  3. Karya Retret
  4. Karya Sosial Ekonomi
Tentu saja empat prioritas di atas tidak bermaksud membatasi karya para redemptoris Indonesia dalam mewartakan penebusan Allah yang berlimpah-limpah. Prioritas pastoral bermaksud memberikan perhatian utama dalam karya-karya pelayanan.
Karya para redemptoris dilaksanakan melalaui lembaga-lembaga propinsi dan secretariat-sekretariat. Lembaga dan secretariat yang ada di Propinsi Redemptoris Indonesia yaitu:
Sekretariat-Sekretariat:
  1. Sekretariat Vita Communis
  2. Sekretariat Pastoral
  3. Sekretariat Sosial
  4. Sekretariat Ekonomi
  5. Sekretariat de Formatione
  6. Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan
  7. Sekretariat Humas
  8. Sekretariat Panggilan
  9. Sekretariat Kaum Muda
  10. Sekretariat Publikasi
Lembaga-lembaga:
  1. SAMUR
  2. Panurma
  3. Yayasan Sosial Donders
  4. Yayasan Pendidikan Nusa Cendana Sumba Timur
  5. Lembaga Studi Budaya Sumba dan Nusantara
  6. Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Sarnelli
Seturut teladan pendiri dan semangat para redemptoris sepanjang sejarah kongregasi, dalam setiap karya para redemptoris mengutamakan mereka yang paling terlantar dan terpinggirkan. Di samping itu, bersama dengan mereka yang dilayani para redemptoris juga belajar hidup beriman secara otentik (menginjili dan diinjili).

Hubungi.....

Taman Bougenville A3-6
Jl. Caman, Jatibening
Pondok Gede
Bekasi
Jawa Barat
17412

Telp(021) 864 5759
Fax(021) 8690 0485


Kamis, 14 April 2011

Missionarii a Sacra Familia (MSF)

Sejarah Singkat
Di saat Pater Jean Berthier meninggal dunia pada tahun 1908, tiga belas tahun setelah membuka sekolah apostolik bagi panggilan terlambat, Kongregasi MSF terdiri dari 25 imam, 54 frater, 13 novis, dan 70 seminaris. Semua tinggal dalam rumah induk dan di satu rumah lain di Grave. Dewan Kongregasi baru yang sudah dipilih semenjak Bapa Pendiri hidup telah membuka beberapa sekolah apostolik baru secara khusus di beberapa negara di mana sejumlah panggilan terlambat bisa dinantikan.
Situasi politik dan undang-undang anti klerus di Perancis dan Jerman memunculkan berbagai kesulitan untuk membuka seminari, biara atau sekolah yang terkait dengan agama di negara-negara ini. Karena situasi ini, sekolah-sekolah apostolik pertama dibuka di Swis, Belgia, dan Belanda. Tahap demi tahap, pengalaman dan harapan para superior di Grave bertumbuh. Pada tahun 1910 mereka menerima permohonan resmi dari Bapa Suci untuk memulai suatu misi ke luar negeri dan mereka mengirimkan tujuh misionaris pertama bagi daerah Amazon di Brasil Utara pada tahun itu juga. Tahun-tahun selanjutnya, sejumlah misionaris dikirimkan ke daerah ini secara teratur, meski terdapat kekhawatiran akan kesehatan mereka.
Perang Dunia Pertama (1914-1918) berakibat hebat, juga bagi Kongregasi baru MSF. Hampir semua seminaris, bruder, dan imam Perancis dan German menjalani mobilisasi. Sejumlah besar dari mereka tidak kembali. Kongregasi juga mengalami banyak kerugian material. Sesaat setelah perang, di tahun 1919, Pater Anton Trampe - seorang pater muda dan aktif - terpilih sebagai Superior Jenderal, selanjutnya memimpin Kongregasi sampai tahun 1947.
Pada periode antara kedua Perang Dunia, Kongregasi tumbuh pesat dalam jumlah secara khusus di Jerman, Belanda, dan Polandia. Begitu banyak sekolah apostolik dibuka terutama di Jerman karena setelah periode anti klerus agama mendapat kembali kebebasan bergerak. Di periode ini Kongregasi tidak saja tumbuh di Eropa, juga di benua-benua lain terlihat kedatangan kelompok-kelompok penting misionaris MSF. Di Amerika Latin, misi di Brasil Utara menjadi besar dan tersebar sampai ke bagian lain Brasil secara khusus di Brasil Selatan di mana hampir seluruh penduduknya saat itu merupakan keturunan dari imigran yang berasal dari Jerman, Italia, dan Polandia. Para pastor yang pertama tiba di Brasil untuk membantu beberapa keuskupan di mana terdapat kekurangan imam. Kegiatan mereka tinggal terbatas pada karya reksa rohani di paroki-paroki yang sudah ada. Akan tetapi pada tahun tigapuluhan, dibukalah juga beberapa rumah pendidikan yang membawa hasil secara khusus di Brasil Selatan. Juga beberapa negara lain di Amerika Latin, Argentina dan Chili, menerima para misionaris MSF untuk menambah jumlah imam. Selain itu, dewan pimpinan umum Kongregasi telah mengirimkan sejumlah imam ke Amerika Serikat demi membantu beberapa keuskupan di mana terdapat kelompok besar orang-orang imigran Jerman. Sesaat sebelum mobilisasi besar-besaran Perang Dunia II, dewan umum telah menentukan untuk mengutus hampir tujuh puluh frater Jerman ke Amerika Latin untuk selanjutnya menyelesaikan studi filsafat dan teologi mereka di sana. Kelompok besar para frater yang menerima tahbisan imam selama perang ini memberikan sumbangan tenaga yang sangat berarti bagi misi MSF di Amerika.
Pada periode yang sama antara dua Perang Dunia, suatu ‘misi bagi orang yang belum mengenal Yesus Kristus’ dipercayakan pada Kongregasi: Kalimantan Selatan, Tengah, dan Timur. Kesemuanya merupakan suatu kawasan yang amat luas, hampir-hampir sepuluh kali lebih besar dari Negeri Belanda, meskipun kurang padat penduduknya. Dengan suatu semangat membara dan dengan dukungan para atasan yang secara kukuh menopang misi ini secara spiritual dan material, para MSF Belanda memulai karya mereka pada tahun 1926. Enam tahun setelahnya, para MSF Belanda mulai menjalankan aktivitas misi mereka di Pulau Jawa. Di sana bertumbuhlah suatu misi yang penuh buah yang pada tahun-tahun sesudahnya menopang dan mendukung misi di Kalimantan. Pada tahun 1931 Vatikan menugaskan dewan umum untuk menerima suatu misi yang berat di Norwegia Utara. Suatu kelompok kecil orang-orang Katolik - yang tersebar di suatu daerah amat luas di kutub utara - harus dibantu secara rohani. Di sana, Gereja mau juga menampakkan kehadirannya. Sampai saat ini pun misi di keuskupan paling utara yang dimiliki Gereja ini tetap tinggal sebagai misi yang amat sulit.

Pada tahun 1939 sebagian besar dunia dan kemanusiaan terlibat lagi dalam suatu perang. Juga pada kali ini, Kongregasi harus membayar harga yang amat mahal: banyak anggota meninggal. Terutama dari propinsi-propinsi Eropa banyak anggota berguguran, tetapi juga di antara para misionaris di Indonesia terdapat beberapa korban. Selain kehilangan jumlah anggota, terdapat juga kerugian material yang tak terkira secara khusus banyak rumah pendidikan dan biara rusak entah secara total ataupun sebagian saja. Tak lama setelah perang berakhir, dimulailah rekonstruksi yang dirintis dengan sikap antusias dan gerak cepat sehingga setelah beberapa tahun, pendidikan mampu berjalan kembali seperti sebelum perang. Pada waktu ini, daerah-daerah misi memperoleh bantuan amat penting dalam bentuk para misionaris baru yang pada masa perang tidak berkesempatan berangkat dari tanah air mereka. Propinsi Swis yang sampai pada saat itu tidak memiliki daerah misi mulai menjalankan misi di Madagaskar Barat.

Pada tahun 50-an Kongregasi mencapai jumlah paling banyak, yaitu lebih dari 1300 anggota. Didorong oleh Vatikan yang menjalankan suatu politik amat sentralistik selama pontifikat Paus Pius XII, rumah jenderalat pindah dari Grave ke Roma. Perang Dunia tidak saja menciptakan suatu situasi politik baru di dunia, tetapi juga dalam banyak bidang memunculkan gagasan dan gerakan baru, namun pemerintahan pusat Gereja di Roma, dan banyak dewan umum kongregasi religius tidak menunjukkan pemahaman dan keterbukaan bagi perubahan itu. Dengan kehadiran Paus Yohanes XXIII, lebih-lebih lagi melalui Konsili Vatikan II (1962-1965), lahirlah suatu situasi baru di mana Gereja mencari jalan dialog dengan dunia kontemporer. Ini merupakan waktu pergerakan spiritual dan pembaharuan yang cepat, tetapi juga merupakan waktu ketidakpastian dan perbenturan, lebih-lebih konflik antara para konservatif dan para progresif. Hal ini terjadi dalam Gereja universal dan juga dalam berbagai ordo dan kongregasi. Para religius diundang untuk membaharui agar menyesuaikan aturan hidup mereka, dalam suatu suasana dialog dan refleksi, pada garis baru Konsili yang ditetapkan dalam dokumen-dokumennya. Di sebagian besar belahan dunia penyesuaian yang perlu tercapai setelah melewati suatu perjalanan dialog yang panjang dan persetujuan yang menyakitkan. Kongregasi MSF mampu mempersembahkan aturan hidup yang telah dibaharui kepada otoritas Vatikan di tahun 1983.

Suatu peristiwa baru yang penting juga bagi Kongregasi kita adalah runtuhnya Tembok Berlin di tahun 1989 yang mengubah situasi religius di Eropa Timur dalam waktu sekejap. Propinsi besar Polandia yang semenjak awal Perang Dunia terisolasi dari propinsi-propinsi lainnya sekarang dapat mewujudkan karakter misioner dari panggilan mereka. Pada tahun 1988, para konfrater dari Polandia memulai suatu misi di Papua Nugini, diikuti setelahnya pengiriman para misionaris ke Bielorussia dan ke Republik Ceko. Propinsi Polandia mampu juga membantu beberapa daerah misi MSF yang menderita kekurangan para misionaris karena penurunan panggilan di propinsi-propinsi Eropa Barat. Krisis panggilan yang memburuk semenjak tahun tujuhpuluhan di negara-negara Eropa Barat mendapat kompensasi sebagian dari panggilan yang banyak di Polandia, Indonesia, Madagaskar, dan Brasil Selatan. Sejumlah anggota MSF bekerja di bawah arahan beberapa uskup MSF, kini berjumlah sembilan, untuk reksa rohani dalam pelbagai paroki. Sejalan dengan karya pastoral ini, terdapat beberapa imam yang memberi perhatian pada tiga kerasulan khusus para MSF: misi, panggilan, dan keluarga. Melalui para imam yang secara khusus telah dipersiapkan, Kongregasi berupaya memberi suatu dasar kuat dan kokoh pada kerasulan panggilan dan secara khusus pada kerasulan keluarga. Dalam sikap seperti ini, Kongregasi hendak mewujudkan panggilannya dalam zaman ini, setia pada arahan Pendirinya dan penantian Gereja.

Logo 
Di tahun-tahun terakhir ini, para ordo religius dan kongregasi mengambil simbol maupun logo untuk menyatakan spiritualitas, orientasi spiritual, serta kerasulan mereka. Simbol yang dimiliki para Misionaris Keluarga Kudus adalah sebagai berikut:
 

  • Bintang - menunjuk pada kedatangan Sang Penyelamat dalam penjelmaan-Nya
  • Salib - merupakan suatu tanda yang menyatakan keselamatan yang terpenuhi dalam misteri wafat dan kebangkitan Yesus Kristus
  • Lingkaran - mengingatkan tugas misioner yang dianugerahkan oleh Kristus “Pergilah ke seluruh dunia”

Logo hendaknya mendorong setiap misionaris Keluarga Kudus untuk melayani keselamatan umat manusia dan kedatangan Kerajaan Allah bersama dengan umat manusia yang memiliki kehendak serupa. 

 Tempat Karya
Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus mempunyai 15 Propinsi dan pusatnya ada di Roma

msf-mondial1

  1. Amerika Serikat
  2. Argentina
  3. Brasilia Utara
  4. Brasilia Selatan
  5. Brasilia Timur
  6. Chili
  7. Jerman
  8. Perancis
  9. Belanda
  10. Polandia
  11. Spanyol
  12. Swis
  13. Madagaskar
  14. Jawa
  15. Kalimantan



Sabtu, 09 April 2011

Ordo Sanctae Crucis (OSC)


 Sejarah OSC

ABAD XII - XIV
Masa ini Gereja hidup dalam udara keresahan dan anyir darah: Perang Salib dan skisma. Gereja nyaris ambruk, terkoyak. Banyak biara (yang saat itu adalah pilar utama Gereja) tertular keresahan zaman.

Untungnya, tetesan segar tidak mengering. Hembusan akan pembaharuan Gereja mulai menyebar di mana-mana. Hembusan ini meneriakkan sebuah gerakan observansi - penghayatan radikal akan kepapaan - yang didalamnya termaktub juga doa yang serius, serta mati raga. Salah seorang putra bangsawan dan ksatria perang salib yang mampu membaca tanda-tanda jaman itu adalah Theodorus de Celles. Tapi ia tidak mampu sendirian. Dengan mengajak beberapa rekan, ia mencoba untuk mengaktualkan kehidupan biarawan yang sejati, yang terpesonakan oleh vita apostolica, hidup bersama-sehati sejiwa ala Gereja perdana.








Sebuah tempat yang terpilih untuk mewujudkan semua mimpi itu adalah Clair-lieu, "tempat terang", dekat kota Huy, Belgia Selatan. Semua itu terekam pada awal abad ke 13, tahun 1211.
Beberapa tahun kemudian mereka memberanikan diri menghadap Paus Innocencius IV untuk meminta restu. Restu diberikan dengan bulla pengesahan Religiosum Vitam Eligentibus tertanggal 23 0ktober 1248. Dengan bulla ini dimulailah langkah-langkah kecil menguratkan hati dan diri dalam sejarah. Kelompok tersebut memilih nama Ordo Sanctae Crucis Canonicorum Regularum Sub Regula S. Agustini, yang pada kemudian hari dipersingkat menjadi Ordo Sanctae Crucis, OSC, kelompok kanonik, pencinta liturgi, yang bersandar pada regula Santo Agustinus. Dengan membawa bekal pro negatio Crucis, berbakti demi kepentingan salib, OSC mulai melebar ke Perancis, Inggris, Skotlandia, Jerman, dan Belanda.
ABAD XV
Kehidupan membiara OSC begitu semerbak dengan harum kekayaan rohani dan mutu hidup. Ini semua karena hidup yang ditata dengan disiplin, doa yang terawat, dan studi yang giat. OSC membuka lebar-lebar jendelanya, maka Devotio Moderna pun berhembus ke dalam biara. Humanisme mulai bergulir dalam biara, maka tak mengherankan bila pada masa ini perpustakaan dan scriptorium (tempat penyalinan naskah-naskah) dibangun dalam biara.
Beberapa manuskrip yang bernilai seni tinggi masih tersimpan di biara Santa Agatha, Belanda. Abad gemilang ini juga ditandakan dengan dibangunnya banyak biara OSC.


ABAD XVI - XVII
Jalan tak pernah mulus. Reformasi menghantam tanpa ampun setiap sendi kehidupan di Eropa. Tantangan berat bagi OSC: mempertahankan iman Katolik meski dengan konsekuensi hengkang dari beberapa negara simpatisan reformasi. Dan memang banyak biara ambruk, bubar. Dalam rangka kontra-reformasi, OSC mulai menceburkan diri ke dalarn dunia pendidikan kaum muda. Di awal abad 17, OSC mulai memantapkan diri dengan ikut bergelut dalam dunia akademis di pelbagai universitas di Eropa. Kolese Latin dihidupkan kembali, banyak buku disalin dan diterbitkan. Di samping itu, dengan semangat kontrar-eformasi, kultus salib semakin dijunjung.

ABAD XIX
Mendung kembali menyelimuti OSC. Politik yang menyimpan bibit epidemic berjangkitan di Eropa, gelombang sekularisasi, Revolusi Perancis yang berdarah-darah, munculnya Kulturkampf. Ditimbuni lagi persoalan intern Ordo seperti percekcokan, kehidupan membiara yang mulai luntur; sempat membuat OSC goyah dan nyaris ambruk.
Ketika larangan untuk menerima calon baru dipetikemaskan pada 1840, yang tersisa tinggal 4 orang, itu pun sudah lanjut usia dan hidup dalam diaspora. Bagamanapun itu merupakan suatu awal "kebangkitan" yang baru dan lebih otentik. H. Van den Wijmelenberg, mantan imam praja yang sebelum pencabutan larangan itu sudah bergabung dengan OSC, sangat berjasa mengembangkan kembali OSC. Tradisi Ordo dipegang teguh, namun prisip stabilitas loci dilepaskan. Kini OSC lebih menekankan vita mixta, perpaduan antara kontemplasi dan karya pastoral. OSC pun mulai bertumbuh kembali dan mulai merambah keluar Eropa.
SPRITUALITAS
Ordo Salib Suci adalah Ordo Kanonik Regulir. Artinya: Ordo yang hidup menurut peraturan atau aturan tertentu. Peraturan tersebut didasarkan pada Regula Santo Agustinus dan Konstitusi Ordo Salib Suci. Ciri utama dari para anggota Ordo Salib Suci adalah hidup bersama. Maka, di dalam komunitas Ordo Salib Suci selalu terdapat dua atau lebih anggota yang tinggal bersama.

Hal lain yang menjadi ciri dari anggota Ordo Salib Suci adalah hidup berimbang antara karya dan doa (vita mixta). Selain itu, liturgi pun mendapat perhatian yang mendalam dari para anggota Ordo Salib Suci.
In Cruce Salu (Di dalam Salib ada Keselamatan) adalah motto yang selalu diemban oleh para anggota Ordo Salib Suci.

Salib tidaklah semata dipandang sebagai simbol penderitaan dan kesengsaraan, namun lebih dipandang sebagai daya yang mampu memancarkan nilai-nilai keselamatan bagi hidup manusia.
Oleh karenanya, setiap anggota Ordo Salib Suci harus mampu mewartakan Kristus yang tersalib, harus mampu menawarkan nilai-nilai keselamatan, dan harus mampu mengangkat martabat mereka yang miskin, tersingkir, hina, dan termarjinalisasi kepada keselamatan nyata di dunia ini.
Semangat hidup ini diintegrasikan dengan tiga pilar utama yang menjadi karisma dari Ordo salib Suci, yaitu:

Cultus (kebersatuan hidup dengan Allah). Hal ini diekspresikan dengan doa, merayakan misa, spiritualitas batin, dan perayaan liturgi lainnya.

Communio (kebersatuan dengan konfrater). Hal ini diekspresikan dengan kemampuan untuk hidup bersama dengan konfrater lain (dalam satu komunitas minimal ada dua konfrater), kemampuan bekerjasama, kemauan untuk saling menguatkan dan membela, serta kemauan dan kemampuan serta kesanggupan untuk berkorban dan berjuang bersama konfrater.

Caritas (kebersatuan dengan orang-orang di sekitar atau dengan umat yang dilayani). Hal ini diekspresikan dengan karya, pengabdian dalam kerasulan.








ABAD XX
Bentuk dan cara hidup yang sudah sedemikian kokoh memungkinkan OSC pada abad 20 merambah hadir di Amerika Serikat, Brasilia, Congo, dan Indonesia. Pada tahun 1992 OSC tak ketinggalan membuka prokur-jeneral di Roma, Italia. Kini OSC meliputi propinsi Theodorus de Celles (Belgia, Belanda, Jerman), Senhor Bom Jesus (Brasilia), Santa Odilia (Amerika Serikat), Sang Kristus (Indonesia), dan propropinsi Wahyu Salib (Irian Jaya). Pelbagai titik patah yang terlampaui dalam perjalanan sejarah telah menghantarkan OSC pada pemurnian kesadaran akan tugas dan panggilannya dalam dunia. OSC senantiasa siap untuk melangkah lagi.

SEBUAH PERSINGGAHAN [OSC melangkah di nusantara]
Tahun 1927, 0SC menghirup udara segar nusantara, tepatnya di Tatar Sunda, Keuskupan Bandung. Berbagai karya mulai ditanganinya dengan pedoman yang dijunjung sejak semula. Pokoknya, menyampaikan kegembiraan dan harapan yang dipancarkan oleh kebangkitan Kristus yang tersalib.
Paroki bermunculan di Bandung, Cirebon, Cimahi, Cigugur, Tasikmalaya, Garut, Subang, Indramayu, Pamanukan, Karawang, dan Purwakarta, serta puluhan stasi. Itulah karya pastoral nyata bagi Keuskupan Bandung. Selanjutnya OSC juga membantu di Tangerang: Karawaci dan Serpong, Keuskupan Agung Jakarta. Tak ketinggalan pula berkarya misi di tanah lumpur-Asmat, Keuskupan Agats (lrian Jaya), mulai 1958. Keuskupan Sibolga, Sumatera Utara pun coba didukung oleh karya pastoral OSC terutama daerah Sirombu, Pulau Nias, mulai 1990. Akhir-akhir ini tanah misi diperlebat ke luar negeri, khususnya ke Brazil dan Kongo.

Tradisi pendidikan tetap tak dit inggalkan. Beberapa anggota OSC ikut serta mendirikan Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Untuk keperluan pembinaan anggota sendiri, didirikan pula Institut Filsafat dan Teologi rnenjadi fakultas filsafat Unika Parahyangan. Di samping terlibat aktif dalam perguruan tinggi, beberapa anggota juga tekun bertugas dalam lingkungan sekolah dasar dan menengah. Selain itu semangat dan gairah mahasiswa katolik tak diabaikan dengan membentuk GEMA (Gereja Mahasiswa). Karya kategorial lain adalah di bidang perburuhan. Tahun 2000, ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia) didirikan, sebagai bentuk keterlibatan aktif OSC dengan hidup liturgi Gereja.



Hubungi.....


Tim Panggilan OSC 


atau....

Paroki St. Monika, Serpong
Jl. Alamanda, Bumi Serpong Damai
Sektor 1-2
Tangerang
Banten
15310
Indonesia
(021) 5377427