PETRUS CANISIUS : PELINDUNG SEMINARI MERTOYUDAN
Petrus Canisius pantas diangkat sebagai pelindung Seminari Mertoyudan karena dia menaruh perhatian besar pada pendidikan calon-calon imam dan mendirikan seminari-seminari.
Petrus Canisius lahir pada tanggal 8 Mei 1521 di kota Nijmegen, Belanda, dari pasangan Jacob Canis dengan puteri seorang apoteker yang terkenal. Ayahnya, Jacob Canis, seorang Walikota yang sangat dihormati oleh masyarakat. Canisius termasuk anak nakal yang sering meresahkan orangtuanya. Ketika keluarganya mengikuti Ekaristi di dalam gereja, dia malah bermain di halaman gereja. Bilamana di dalam gereja, dia sering berbuat iseng. Petrus Canisius sendiri mengaku bahwa dirinya termasuk sombong dan angkuh karena ayahnya adalah penguasa Namun setelah bertobat dari kenakalannya, Canisius suka melakukan visitasi di depan Sakramen Mahakudus di dalam gereja dekat sekolahnya. Dalam visitasinya inilah ia mulai merasakan kedekatan dengan Allah.
Sekolah pertama yang dimasuki oleh Petrus Canisius adalah sekolah berbahasa Latin di kota Nigjmegen. Ketika berumur 12 tahun Canisius pindah ke sekolah berasrama, hidup bersama teman laki-laki sebaya. Setelah menyelesaikan sekolah di Nijmegen, Canisius didaftarkan oleh ayahnya ke Universitas Koln (Jerman). Di Koln Canisius dititipkan pada seorang imam bernama Andrew Herll, yang tinggal di biara Carthusian dekat gereja St. Gereon. Gereja ini nantinya turut berperanan dalam menumbuhkan kerohanian Canisius. Selama tinggal di biara Koln itu, ada beberapa orang yang mempunyai pengaruh besar dalam hidup Canisius. Mereka itu adalah: Nicholas van Esche, Laurence Surius, Andrian dari Utrecht, Jorgen Skodborg, Gerard Kalckbrenner, dan Johann Justus. Mereka itulah yang menjadi pendamping Petrus Canisius dalam menghadapi suasana kota Koln yang kering, brutal, korup dan sekular. Umumnya mahasiswa Koln suka berkelahi, mabuk, judi, dan musik.
Setelah menyelesaikan studi filsafatnya di Koln, tahun 1539 Canisius melanjutkan studinya di Louvain, Belgia, untuk mengikuti kursus singkat hukum Gereja. Ayahnya sudah curiga pada kedekatan Canisius dengan para imam dan rahib Carthusian di Koln. Ayahnya bermaksud membelokkan kedekatan Canisus itu dengan menghadirkan seorang puteri cantik dalam hidupnya. Namun perempuan cantik itu tidak mampu mengubah minatnya pada hidup rohani. Canisius menyikapi tawaran ayahnya itu dengan mengucapkan kaul kemurnian pribadi. Segala usaha ayahnya untuk membelokkan Canisius dari cita-citanya tidak bisa mengalahkan karya Allah yang menghendaki dia menjadi imam.
Pada tahun 1540-1543, Canisius meneruskan belajar teologi. Canisius mengambil spesialisasi di bidang Kitab Suci. Persahabatannya dengan Laurence Sarius berkembang selama studinya di Universitas Koln. Mereka berkaul untuk tidak akan saling berpisah. Kaul ini sangat mengikat mereka. Jika salah satu di antara mereka masuk ke lembaga religius tertentu, yang lain harus mengikutinya juga. Pada Februari 1540 Surius masuk ordo Carthusian di Koln. Pilihan Surius ini membuat Canisius dalam kesulitan karena dia masih condong untuk masuk sebuah ordo imam baru yang masih ia tunggu. Ordo baru ini tidak muncul sampai sekitar 7 bulan setelah Surius masuk ordo Carthusian. Canisius tetap yakin akan panggilannya untuk masuk ordo imam baru yang keberadaannya belum ia ketahui. Sementara itu Canisius tetap melanjutkan studinya di Koln.
Pada suatu ketika, perhatian Canisius terarah pada seorang imam muda Spanyol, Alvaro Alfonso namanya. Setelah beberapa saat bertemu di Koln, Alvaro dan Canisius bersahabat. Allah bekerja melalui Alvaro Alfonso. Melalui dia untuk pertama kalinya Canisius mendengar ceritera yang sangat inspiriatif tentang Ignatius Loyola dan sahabat-sahabatnya, terutama Petrus Faber. Canisius lalu pergi mencari Petrus Faber di Mainz, Jerman. Ia disambut hangat oleh Petrus Faber. Tidak lama sesudah itu, Canisius manjalani Latihan Rohani di bawah bimbingan Pater Petrus Faber, salah seorang pendiri Serikat Yesus. Canisius menuliskan pengalamannya menjalani Latihan Rohani kepada temannya di Koln sbb.: "Aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk menggambarkan pengalamanku menjalani Latihan Rohani. Pengalaman ini mengubah jiwa dan perasaan-perasaanku, menerangi akal budiku dengan cahaya baru dan memberiku inspirasi dengan kekuatan yang menyegarkan. Melimpahnya rahmat ilahi juga mengalir dalam tubuhku. Aku sungguh-sungguh dikuatkan dan diubah menjadi manusia baru".
Setelah menjalani Latihan Rohani, Petrus Canisius mengambil keputusan untuk menjadi seorang Yesuit. Pada tanggal 8 Mei 1543, dia diterima menjadi novis Serikat Yesus, dan menjalani novisiat di Mainz, Jerman. Dengan demikian, Canisius telah menemukan ordo imam baru yang telah sekian tahun lamanya ditunggu kelahirannya. Inilah saat terpenuhinya ramalan seorang wanita suci dari kota Arnhem bahwa Canisius akan bergabung dengan sebuah lembaga religius yang saat itu sedang dalam proses didirikan. Lembaga religius itu adalah Serikat Yesus.
Masa novisiat di Koln bagi Canisius menjadi masa pemisahan yang tenang dari kehidupan duniawi. Pada tanggal 8 Mei 1543, persis pada hari ulang tahunnya dan sekaligus hari pesta nama St. Mikael, Petrus Canisius mengucapkan kaul di dalam Serikat Yesus. Hari ini oleh Canisius dilihat sebagai hari kelahirannya yang kedua. Dia melihat Petrus Faber sebagai ayah keduanya yang telah melahirkannya kembali menjadi manusia baru di dalam Tuhan. Selanjutnya, Canisius kembali ke Koln untuk meneruskan studi teologinya. Ia ditahbiskan menjadi imam di Koln pada tanggal 12 Juni 1546.
Sebagai imam muda, Petrus Canisius diutus oleh Ignatius untuk mengajar di kolese Yesuit pertama di Messina, Sicilia. Tetapi tidak lama kemudian, pada bulan September 1549, Paus Paulus III mengutusnya ke Jerman untuk menangani misi penting, yaitu membela Gereja Katolik Jerman melawan serangan para reformator. Pada waktu itu, suasana Gereja di negeri Jerman sedemikian kacau sebagai akibat Reformasi. Umat sulit membedakan ajaran Gereja Katolik dan ajaran Luther. Canisius diminta membendung arus penyeberangan orang-orang Katolik ke Protestantisme dan mengembalikan mereka ke pangkuan Gereja. Lewat khotbah-khotbahnya, dia menjelaskan tema-tema pokok iman Katolik.
Pada bulan Februari 1552, Canisius diutus ke Wina, Austria, untuk mendirikan sebuah kolese Yesuit dan menyalakan kembali iman orang-orang Katolik. Di ibukota Austria itu, ia mendapati Gereja sudah kehilangan umatnya. Banyak juga, Gereja terpaksa ditutup karena tidak ada imamnya. Ia lalu mencari calon-calon imam, dan mendirikan sebuah seminari di dekat kolese Wina tersebut.
Selama berkarya di Wina, Petrus Canisius menghasilkan buku yang sangat terkenal, yaitu Katekismus. Buku itu menjadi sangat populer di Jerman karena memenuhi kebutuhan yang paling mendesak pada saat itu. Buku itu memuat ajaran Kristiani; terbit pada bulan April 1555. Buku itu ditulis dalam bahasa Latin, dengan judul: Summarium Doctrinae Christianae (Ringkasan Doktrin Kristen). Isi bukunya berupa tanya jawab karena dimaksudkan sebagai pegangan praktis bagi para pelajar kolese. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1556. Sebuah penyesuaian diterbitkan bagi anak-anak Sekolah Menengah dengan judul: Katekismus Singkat. Katekismus ini mengalami sekitar dua ratus kali cetak ulang selama Canisius masih hidup, dan terus dicetak ulang sampai abad XIX.
Pada bulan Juli 1555, ia pergi ke Praha untuk membuka sebuah kolese. Pada bulan Juni 1556, ia ditunjuk menjadi Provinsial di Jerman, dan tugas ini dijalaniselama empat belas tahun. Setelah dibebaskan dari tugas sebagai Provinsial pada tahun 1569, ia pergi ke Insburck untuk menulis buku-buku ilmiah dan berkhotbah. Pada tahun 1573, ia mengunjungi Roma untuk membicarakan situasi Jerman dengan Paus. Selama pembicaraan itu, ia menganjurkan supaya di Jerman didirikan lebih banyak seminari. Ia percaya, kalau persiapan para imam menjadi semakin baik, umat Katolik di paroki-paroki akan semakin baik pula.
Menginjak usianya yang ke-68, kesehatannya mulai memburuk. Keadaan ini memaksa dia menghentikan aktivitasnya. Pada tanggal 21 Desember 1597, pada usianya yang ke-76, ia meninggal dalam damai Tuhan. Petrus Canisius dinyatakan sebagai santo oleh Paus Pius XI pada taggal 21 Mei 1925, dan diberi gelar Pujangga Gereja. Pesta Santo Petrus Canisius dirayakan setiap tanggal 27 April.
Selama hidupnya ia telah mendirikan 18 kolese, dan mengarang 37 buku. Lewat khotbah-khotbahnya, ia berperan besar dalam membantu membangun kembali kekatolikan di Jerman. Kecuali itu, sumbangan penting yang pantas dicatat adalah perhatiannya yang besar terhadap pendidikan calon-calon imam untuk mendukung pembangunan Gereja. Hal terakhir inilah yang menjadi dasar utama mengapa Petrus Canisius diangkat sebagai pelindung Seminari Menengah Mertoyudan. Hidup dan semangatnya banyak memberi inspirasi untuk penyelenggaraan pendidikan calon-calon imam.
SEJARAH (wikipedia.org)
Awal berdirinya Seminari Menengah Mertoyudan tidak dapat dilepaskan dari 2 pemuda lulusan Kweekschool Muntilan yang berkeinginan menjadi imam, yakni Petrus Darmaseputra dan F.X. Satiman.
November 1911 mereka menghadap Romo Van Lith dan Romo Mertens SJ dan mohon agar diperkenankan belajar menyiapkan diri menjadi imam.
Niatan kedua pemuda ini, yang juga dengan mempertimbangkan kebutuhan imam di Indonesia, ternyata mampu mendorong munculnya gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi para calon imam. Proses perijinan dari Roma pun diurus, dan 30 Mei 1912 izin resmi dari Roma keluar untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Kursus pendidikan tersebut diselenggarakan di Kolese Xaverius Muntilan.
Antara tahun 1916-1920 sudah ada 10 siswa Muntilan yang dikirim ke sekolah Latin yang diselenggarakan para pastor Ordo Salib Suci di Uden, Belanda. Dua siswa meninggal dan seorang lagi terganggu kesehatannya, kemudian diambil kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Kursus di Muntilan pun disempurnakan.
Tanggal 7 September 1922, dua seminaris menjadi novis pertama pada Novisiat Serikat Yesus yang baru dibuka di Yogyakarta dengan rektor dan pimpinan novisiatnya Romo Strater SJ.
Mei 1925 dimulai Seminari Kecil (Klein Seminarie), yang gedungnya dibangun di sebelah barat kolese St. Ignatius Yogyakarta tanggal 19 Desember 1927 dan diberkati Mgr APF van Velsen SJ. Kursus diadakan bagi mereka yang baru tamat Sekolah Dasar Hollands Inlandse School (HIS) dan Europese Lagere School (ELS). Bersamaan dengan itu kursus di Muntilan, bagi mereka yang sudah memiliki ijasah guru tetap, juga tetap berlangsung.
Sekitar tahun 1927 kursus ini digabung dengan Seminari Kecil di Yogyakarta. Karena jumlah siswnya meningkat hingga 100 siswa lebih, seminari dipindah ke Mertoyudan Magelang. Pelajaran pertama dimulai 13 Januari 1941.
8 Maret 1942 tentara Belanda menyerah kepada Jepang. Gedung Seminari Mertoyudan diduduki Jepang dan digunakan untuk sekolah Pertanian Nogako. Tanggal 5 April 1942 para seminaris terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Meski demikian pendidikan calon imam tetap dilangsungkan di berbagai pastoran, diantaranya di Boro, Yogyakarta, Ganjuran, Muntilan, Girisonta, Ungaran, Semarang dan Solo. Pelajaran diberikan dengan sembunyi-sembunyi. Selama masa sulit ini, seminari lazim disebut Seminari in diaspora. Situasi ini berlangsung hingga 1945.
Dalam masa Revolusi Fisik, gedung Seminari Mertoyudan sempat dibumihanguskan. Sisa-sisa bangunan menjadi jarahan. Setelah situasi tenang, Seminari dibangun kembali oleh Vikariat Semarang dan berakhir Agustus 1952. Bangunan tersebut sekarang merupakan bagian dari gedung Domus Patrum dan Medan Madya. Setelah pembangunan selesai, selama liburan para seminaris pindah ke Mertoyudan.
Tanggal 3 Desember 1952 gedung Seminari Mertoyudan diberkati Mgr Albertus Soegijapranata SJ. Lima tahun kemudian dibangun gedung tambahan yang dipergunakan untuk seminari, yaitu Medan Utama dan Medan Pratama. Sejak saat itu semakin banyak murid tamatan SD yang diterima di Seminari Mertoyudan. Namun berdasar pertimbangan lain, tamatan SD tidak diterima lagi sejak tahun 1968. Yang diterima hanya tamatan SLTP dan SLTA.
Tahun 1971 siswa seminari lulusan SLTA tinggal di Yogyakarta dan mengikuti kuliah di IKIP Sanata Dharma hingga menyelesaikan pendidikan sarjana muda. Tahun 1972 siswa tamatan SLTA juga ditampung di Seminari Mertoyudan. Karena berbagai alasan, tahun 1974 di Wisma Realino Yogyakarta dibangun cabang Seminari untuk menampung siswa tamatan SLTA.
Di Mertoyudan dilakukan penambahan gedung. Tahun 1976 dilakukan penambahan gedung, yang diresmikan dan mulai dihuni oleh Seminaris Medan Utama. Tahun itu juga Seminari Cabang Yogyakarta digabung lagi dengan Seminari Mertoyudan hingga sekarang.
VISI, MISI, TUJUAN DAN NILAI DASAR SEMINARI
A.VISI
Visi Seminari adalah menjadi komunitas pendidikan calon imam tingkat menengah yang handal dan berkompeten dalam mengembangkan sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan) ke arah imamat yang tanggap terhadap kebutuhan zaman.
B.MISI
Misi Seminari adalah
1.mendidik dan mendampingi seminaris (siswa) menjadi pribadi yang berkembang secara integral dalam sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan) ke arah kedewasaan sesuai dengan usianya sehingga semakin mampu mengambil keputusan sesuai dengan panggilan hidupnya.
2.menyelenggarakan pendidikan yang mampu membentuk dan mengembangkan seminaris menjadi pribadi yang jujur, setia, disiplin, bertanggung jawab, solider, mampu bekerjasama, berjiwa melayani, berani memperjuangkan keadilan, dan mampu berdialog dengan penganut agama/kepercayaan lain, dengan mengedepankan manajemen partisipatif.
C. TUJUAN
Tujuan Seminari
1.mendampingi seminaris dalam mengolah hidup rohani, panggilan, kegerejaan dan kemasyarakatan, agar mampu mengambil keputusan sesuai dengan panggilan hidupnya.
2.mendampingi seminaris untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang sehat secara fisik maupun psikis, dewasa secara manusiawi maupun kristiani, sehingga seminaris memiliki kesiapsiagaan untuk menanggapi panggilan Tuhan.
3.melaksanakan kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara efektif dan efisien agar kompetensi seminaris berkembang secara optimal sehingga seminaris memiliki bekal yang memadai untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan imamat berikutnya.
NILAI-NILAI DASAR
Kegiatan pendidikan di Seminari dilaksanakan dengan mengedepankan dan mendasarkan diri pada nilai-nilai dasar, antara lain: iman, harapan, kasih, kejujuran, kesetiaan, kedisiplinan, tanggungjawab, solidaritas, keadilan, dan pelayanan.
Sumber: Web Resmi Mertoyudan
Alamat Lengkap :
Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan
SMA Seminari Mertoyudan
Jl.Mayjend. Bambang Soegeng Mertoyudan,
Kotak Pos 103 Magelang 56101
Telepon (0293) 326718; Fax. (0293) 325057.
Petrus Canisius pantas diangkat sebagai pelindung Seminari Mertoyudan karena dia menaruh perhatian besar pada pendidikan calon-calon imam dan mendirikan seminari-seminari.
Petrus Canisius lahir pada tanggal 8 Mei 1521 di kota Nijmegen, Belanda, dari pasangan Jacob Canis dengan puteri seorang apoteker yang terkenal. Ayahnya, Jacob Canis, seorang Walikota yang sangat dihormati oleh masyarakat. Canisius termasuk anak nakal yang sering meresahkan orangtuanya. Ketika keluarganya mengikuti Ekaristi di dalam gereja, dia malah bermain di halaman gereja. Bilamana di dalam gereja, dia sering berbuat iseng. Petrus Canisius sendiri mengaku bahwa dirinya termasuk sombong dan angkuh karena ayahnya adalah penguasa Namun setelah bertobat dari kenakalannya, Canisius suka melakukan visitasi di depan Sakramen Mahakudus di dalam gereja dekat sekolahnya. Dalam visitasinya inilah ia mulai merasakan kedekatan dengan Allah.
Sekolah pertama yang dimasuki oleh Petrus Canisius adalah sekolah berbahasa Latin di kota Nigjmegen. Ketika berumur 12 tahun Canisius pindah ke sekolah berasrama, hidup bersama teman laki-laki sebaya. Setelah menyelesaikan sekolah di Nijmegen, Canisius didaftarkan oleh ayahnya ke Universitas Koln (Jerman). Di Koln Canisius dititipkan pada seorang imam bernama Andrew Herll, yang tinggal di biara Carthusian dekat gereja St. Gereon. Gereja ini nantinya turut berperanan dalam menumbuhkan kerohanian Canisius. Selama tinggal di biara Koln itu, ada beberapa orang yang mempunyai pengaruh besar dalam hidup Canisius. Mereka itu adalah: Nicholas van Esche, Laurence Surius, Andrian dari Utrecht, Jorgen Skodborg, Gerard Kalckbrenner, dan Johann Justus. Mereka itulah yang menjadi pendamping Petrus Canisius dalam menghadapi suasana kota Koln yang kering, brutal, korup dan sekular. Umumnya mahasiswa Koln suka berkelahi, mabuk, judi, dan musik.
Setelah menyelesaikan studi filsafatnya di Koln, tahun 1539 Canisius melanjutkan studinya di Louvain, Belgia, untuk mengikuti kursus singkat hukum Gereja. Ayahnya sudah curiga pada kedekatan Canisius dengan para imam dan rahib Carthusian di Koln. Ayahnya bermaksud membelokkan kedekatan Canisus itu dengan menghadirkan seorang puteri cantik dalam hidupnya. Namun perempuan cantik itu tidak mampu mengubah minatnya pada hidup rohani. Canisius menyikapi tawaran ayahnya itu dengan mengucapkan kaul kemurnian pribadi. Segala usaha ayahnya untuk membelokkan Canisius dari cita-citanya tidak bisa mengalahkan karya Allah yang menghendaki dia menjadi imam.
Pada tahun 1540-1543, Canisius meneruskan belajar teologi. Canisius mengambil spesialisasi di bidang Kitab Suci. Persahabatannya dengan Laurence Sarius berkembang selama studinya di Universitas Koln. Mereka berkaul untuk tidak akan saling berpisah. Kaul ini sangat mengikat mereka. Jika salah satu di antara mereka masuk ke lembaga religius tertentu, yang lain harus mengikutinya juga. Pada Februari 1540 Surius masuk ordo Carthusian di Koln. Pilihan Surius ini membuat Canisius dalam kesulitan karena dia masih condong untuk masuk sebuah ordo imam baru yang masih ia tunggu. Ordo baru ini tidak muncul sampai sekitar 7 bulan setelah Surius masuk ordo Carthusian. Canisius tetap yakin akan panggilannya untuk masuk ordo imam baru yang keberadaannya belum ia ketahui. Sementara itu Canisius tetap melanjutkan studinya di Koln.
Pada suatu ketika, perhatian Canisius terarah pada seorang imam muda Spanyol, Alvaro Alfonso namanya. Setelah beberapa saat bertemu di Koln, Alvaro dan Canisius bersahabat. Allah bekerja melalui Alvaro Alfonso. Melalui dia untuk pertama kalinya Canisius mendengar ceritera yang sangat inspiriatif tentang Ignatius Loyola dan sahabat-sahabatnya, terutama Petrus Faber. Canisius lalu pergi mencari Petrus Faber di Mainz, Jerman. Ia disambut hangat oleh Petrus Faber. Tidak lama sesudah itu, Canisius manjalani Latihan Rohani di bawah bimbingan Pater Petrus Faber, salah seorang pendiri Serikat Yesus. Canisius menuliskan pengalamannya menjalani Latihan Rohani kepada temannya di Koln sbb.: "Aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk menggambarkan pengalamanku menjalani Latihan Rohani. Pengalaman ini mengubah jiwa dan perasaan-perasaanku, menerangi akal budiku dengan cahaya baru dan memberiku inspirasi dengan kekuatan yang menyegarkan. Melimpahnya rahmat ilahi juga mengalir dalam tubuhku. Aku sungguh-sungguh dikuatkan dan diubah menjadi manusia baru".
Setelah menjalani Latihan Rohani, Petrus Canisius mengambil keputusan untuk menjadi seorang Yesuit. Pada tanggal 8 Mei 1543, dia diterima menjadi novis Serikat Yesus, dan menjalani novisiat di Mainz, Jerman. Dengan demikian, Canisius telah menemukan ordo imam baru yang telah sekian tahun lamanya ditunggu kelahirannya. Inilah saat terpenuhinya ramalan seorang wanita suci dari kota Arnhem bahwa Canisius akan bergabung dengan sebuah lembaga religius yang saat itu sedang dalam proses didirikan. Lembaga religius itu adalah Serikat Yesus.
Masa novisiat di Koln bagi Canisius menjadi masa pemisahan yang tenang dari kehidupan duniawi. Pada tanggal 8 Mei 1543, persis pada hari ulang tahunnya dan sekaligus hari pesta nama St. Mikael, Petrus Canisius mengucapkan kaul di dalam Serikat Yesus. Hari ini oleh Canisius dilihat sebagai hari kelahirannya yang kedua. Dia melihat Petrus Faber sebagai ayah keduanya yang telah melahirkannya kembali menjadi manusia baru di dalam Tuhan. Selanjutnya, Canisius kembali ke Koln untuk meneruskan studi teologinya. Ia ditahbiskan menjadi imam di Koln pada tanggal 12 Juni 1546.
Sebagai imam muda, Petrus Canisius diutus oleh Ignatius untuk mengajar di kolese Yesuit pertama di Messina, Sicilia. Tetapi tidak lama kemudian, pada bulan September 1549, Paus Paulus III mengutusnya ke Jerman untuk menangani misi penting, yaitu membela Gereja Katolik Jerman melawan serangan para reformator. Pada waktu itu, suasana Gereja di negeri Jerman sedemikian kacau sebagai akibat Reformasi. Umat sulit membedakan ajaran Gereja Katolik dan ajaran Luther. Canisius diminta membendung arus penyeberangan orang-orang Katolik ke Protestantisme dan mengembalikan mereka ke pangkuan Gereja. Lewat khotbah-khotbahnya, dia menjelaskan tema-tema pokok iman Katolik.
Pada bulan Februari 1552, Canisius diutus ke Wina, Austria, untuk mendirikan sebuah kolese Yesuit dan menyalakan kembali iman orang-orang Katolik. Di ibukota Austria itu, ia mendapati Gereja sudah kehilangan umatnya. Banyak juga, Gereja terpaksa ditutup karena tidak ada imamnya. Ia lalu mencari calon-calon imam, dan mendirikan sebuah seminari di dekat kolese Wina tersebut.
Selama berkarya di Wina, Petrus Canisius menghasilkan buku yang sangat terkenal, yaitu Katekismus. Buku itu menjadi sangat populer di Jerman karena memenuhi kebutuhan yang paling mendesak pada saat itu. Buku itu memuat ajaran Kristiani; terbit pada bulan April 1555. Buku itu ditulis dalam bahasa Latin, dengan judul: Summarium Doctrinae Christianae (Ringkasan Doktrin Kristen). Isi bukunya berupa tanya jawab karena dimaksudkan sebagai pegangan praktis bagi para pelajar kolese. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1556. Sebuah penyesuaian diterbitkan bagi anak-anak Sekolah Menengah dengan judul: Katekismus Singkat. Katekismus ini mengalami sekitar dua ratus kali cetak ulang selama Canisius masih hidup, dan terus dicetak ulang sampai abad XIX.
Pada bulan Juli 1555, ia pergi ke Praha untuk membuka sebuah kolese. Pada bulan Juni 1556, ia ditunjuk menjadi Provinsial di Jerman, dan tugas ini dijalaniselama empat belas tahun. Setelah dibebaskan dari tugas sebagai Provinsial pada tahun 1569, ia pergi ke Insburck untuk menulis buku-buku ilmiah dan berkhotbah. Pada tahun 1573, ia mengunjungi Roma untuk membicarakan situasi Jerman dengan Paus. Selama pembicaraan itu, ia menganjurkan supaya di Jerman didirikan lebih banyak seminari. Ia percaya, kalau persiapan para imam menjadi semakin baik, umat Katolik di paroki-paroki akan semakin baik pula.
Menginjak usianya yang ke-68, kesehatannya mulai memburuk. Keadaan ini memaksa dia menghentikan aktivitasnya. Pada tanggal 21 Desember 1597, pada usianya yang ke-76, ia meninggal dalam damai Tuhan. Petrus Canisius dinyatakan sebagai santo oleh Paus Pius XI pada taggal 21 Mei 1925, dan diberi gelar Pujangga Gereja. Pesta Santo Petrus Canisius dirayakan setiap tanggal 27 April.
Selama hidupnya ia telah mendirikan 18 kolese, dan mengarang 37 buku. Lewat khotbah-khotbahnya, ia berperan besar dalam membantu membangun kembali kekatolikan di Jerman. Kecuali itu, sumbangan penting yang pantas dicatat adalah perhatiannya yang besar terhadap pendidikan calon-calon imam untuk mendukung pembangunan Gereja. Hal terakhir inilah yang menjadi dasar utama mengapa Petrus Canisius diangkat sebagai pelindung Seminari Menengah Mertoyudan. Hidup dan semangatnya banyak memberi inspirasi untuk penyelenggaraan pendidikan calon-calon imam.
SEJARAH (wikipedia.org)
Awal berdirinya Seminari Menengah Mertoyudan tidak dapat dilepaskan dari 2 pemuda lulusan Kweekschool Muntilan yang berkeinginan menjadi imam, yakni Petrus Darmaseputra dan F.X. Satiman.
November 1911 mereka menghadap Romo Van Lith dan Romo Mertens SJ dan mohon agar diperkenankan belajar menyiapkan diri menjadi imam.
Niatan kedua pemuda ini, yang juga dengan mempertimbangkan kebutuhan imam di Indonesia, ternyata mampu mendorong munculnya gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi para calon imam. Proses perijinan dari Roma pun diurus, dan 30 Mei 1912 izin resmi dari Roma keluar untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Kursus pendidikan tersebut diselenggarakan di Kolese Xaverius Muntilan.
Antara tahun 1916-1920 sudah ada 10 siswa Muntilan yang dikirim ke sekolah Latin yang diselenggarakan para pastor Ordo Salib Suci di Uden, Belanda. Dua siswa meninggal dan seorang lagi terganggu kesehatannya, kemudian diambil kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Kursus di Muntilan pun disempurnakan.
Tanggal 7 September 1922, dua seminaris menjadi novis pertama pada Novisiat Serikat Yesus yang baru dibuka di Yogyakarta dengan rektor dan pimpinan novisiatnya Romo Strater SJ.
Mei 1925 dimulai Seminari Kecil (Klein Seminarie), yang gedungnya dibangun di sebelah barat kolese St. Ignatius Yogyakarta tanggal 19 Desember 1927 dan diberkati Mgr APF van Velsen SJ. Kursus diadakan bagi mereka yang baru tamat Sekolah Dasar Hollands Inlandse School (HIS) dan Europese Lagere School (ELS). Bersamaan dengan itu kursus di Muntilan, bagi mereka yang sudah memiliki ijasah guru tetap, juga tetap berlangsung.
Sekitar tahun 1927 kursus ini digabung dengan Seminari Kecil di Yogyakarta. Karena jumlah siswnya meningkat hingga 100 siswa lebih, seminari dipindah ke Mertoyudan Magelang. Pelajaran pertama dimulai 13 Januari 1941.
8 Maret 1942 tentara Belanda menyerah kepada Jepang. Gedung Seminari Mertoyudan diduduki Jepang dan digunakan untuk sekolah Pertanian Nogako. Tanggal 5 April 1942 para seminaris terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Meski demikian pendidikan calon imam tetap dilangsungkan di berbagai pastoran, diantaranya di Boro, Yogyakarta, Ganjuran, Muntilan, Girisonta, Ungaran, Semarang dan Solo. Pelajaran diberikan dengan sembunyi-sembunyi. Selama masa sulit ini, seminari lazim disebut Seminari in diaspora. Situasi ini berlangsung hingga 1945.
Dalam masa Revolusi Fisik, gedung Seminari Mertoyudan sempat dibumihanguskan. Sisa-sisa bangunan menjadi jarahan. Setelah situasi tenang, Seminari dibangun kembali oleh Vikariat Semarang dan berakhir Agustus 1952. Bangunan tersebut sekarang merupakan bagian dari gedung Domus Patrum dan Medan Madya. Setelah pembangunan selesai, selama liburan para seminaris pindah ke Mertoyudan.
Tanggal 3 Desember 1952 gedung Seminari Mertoyudan diberkati Mgr Albertus Soegijapranata SJ. Lima tahun kemudian dibangun gedung tambahan yang dipergunakan untuk seminari, yaitu Medan Utama dan Medan Pratama. Sejak saat itu semakin banyak murid tamatan SD yang diterima di Seminari Mertoyudan. Namun berdasar pertimbangan lain, tamatan SD tidak diterima lagi sejak tahun 1968. Yang diterima hanya tamatan SLTP dan SLTA.
Tahun 1971 siswa seminari lulusan SLTA tinggal di Yogyakarta dan mengikuti kuliah di IKIP Sanata Dharma hingga menyelesaikan pendidikan sarjana muda. Tahun 1972 siswa tamatan SLTA juga ditampung di Seminari Mertoyudan. Karena berbagai alasan, tahun 1974 di Wisma Realino Yogyakarta dibangun cabang Seminari untuk menampung siswa tamatan SLTA.
Di Mertoyudan dilakukan penambahan gedung. Tahun 1976 dilakukan penambahan gedung, yang diresmikan dan mulai dihuni oleh Seminaris Medan Utama. Tahun itu juga Seminari Cabang Yogyakarta digabung lagi dengan Seminari Mertoyudan hingga sekarang.
1. Kebanyakan lembaga pendidikan memiliki lambang.
Lambang adalah gambar atau lukisan yang menyatakan sesuatu atau mengandung maksud tertentu. Lewat lambang tersebut pemrakarsa/ pendiri lembaga pendidikan bermaksud melukiskan apa yang menjadi cita-cita atau visi lembaga yang didirikan. Nilai-nilai yang terkandung dalam lambang tersebut menjadi acuan dan penggerak dalam menyelenggarakan pendidikan.
Lambang adalah gambar atau lukisan yang menyatakan sesuatu atau mengandung maksud tertentu. Lewat lambang tersebut pemrakarsa/ pendiri lembaga pendidikan bermaksud melukiskan apa yang menjadi cita-cita atau visi lembaga yang didirikan. Nilai-nilai yang terkandung dalam lambang tersebut menjadi acuan dan penggerak dalam menyelenggarakan pendidikan.
a. Perisai melambangkan perjuangan.
b. Warna dasar kuning emas melambangkan kemuliaan.
c. Warna hijau pada tulisan SSS melambangkan harapan untuk bertumbuh.
d. Warna merah pada karang melambangkan kegairahan.
e. Warna hitam pada anjing melambangkan kesungguhan.
f. Warna putih pada latarbelakang karang dan anjing melambangkan kesucian.
g. Dengan demikian, lambang Seminari Mertoyudan itu mengandung pengertian, dengan kegairahan dan kesungguhan yang didasari oleh niat suci, Seminari berjuang untuk pertumbuhan Seminaris dalam sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan) menuju cita-cita imamat mulia seturut teladan Santo Petrus Canisius.
4. Huruf "CS" dalam lambang merupakan singkatan dari "Canisii Seminarium", yang artinya "Pesemaian Canisius". Gambar "batu karang" di bawah tulisan "CS" mau mengungkapkan Petrus sebagai batu karang. Hal ini mengingatkan kita akan sabda Yesus kepada Petrus, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku" (Mat 16: 8). Gambar "anjing" mau menunjuk nama diri "Canisius" (canis = anjing). Dengan lambang itu, mau diungkapkan bahwa Seminari Menengah Mertoyudan berada di bawah lindungan Santo Petrus Canisius. Petrus Canisius dijadikan pelindung Seminari Mertoyudan karena beliau mempunyai perhatian besar terhadap pendidikan calon-calon imam.
5. Huruf "SSS" merupakan singkatan dari Sanctitas, Sanitas, dan Scientia. Dengan "SSS", dimaksudkan bahwa Seminari Menengah Mertoyudan bercita-cita mendidik seminaris agar seminaris berkembang secara seimbang dalam kesucian, kesehatan, dan pengetahuan. Kata "Sanctitas", "Sanitas", dan "Scientia" tersebut diharapkan menjadi acuan baik bagi para pembina dalam memberikan pendampingan maupun bagi seminaris dalam mengembangkan diri ke arah panggilan imamat.
6. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan makna lambang Seminari Menengah Mertoyudan. Petrus Canisius dipilih sebagai pelindung Seminari Mertoyudan karena beliau adalah seorang tokoh Gereja yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan calon-calon imam. Berkat teladan dan semangatnya, seminaris -dalam kerjasama dengan para pembina - dan dengan didasari kegairahan, kesungguhan, niat suci, dan keterbukaan pada Roh Kudus - berjuang mengembangkan diri menjadi pribadi yang suci, sehat, dan berpengetahuan menuju cita-cita imamat mulia dalam rangka memenuhi kebutuhan Gereja.
VISI, MISI, TUJUAN DAN NILAI DASAR SEMINARI
A.VISI
Visi Seminari adalah menjadi komunitas pendidikan calon imam tingkat menengah yang handal dan berkompeten dalam mengembangkan sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan) ke arah imamat yang tanggap terhadap kebutuhan zaman.
B.MISI
Misi Seminari adalah
1.mendidik dan mendampingi seminaris (siswa) menjadi pribadi yang berkembang secara integral dalam sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan) ke arah kedewasaan sesuai dengan usianya sehingga semakin mampu mengambil keputusan sesuai dengan panggilan hidupnya.
2.menyelenggarakan pendidikan yang mampu membentuk dan mengembangkan seminaris menjadi pribadi yang jujur, setia, disiplin, bertanggung jawab, solider, mampu bekerjasama, berjiwa melayani, berani memperjuangkan keadilan, dan mampu berdialog dengan penganut agama/kepercayaan lain, dengan mengedepankan manajemen partisipatif.
C. TUJUAN
Tujuan Seminari
1.mendampingi seminaris dalam mengolah hidup rohani, panggilan, kegerejaan dan kemasyarakatan, agar mampu mengambil keputusan sesuai dengan panggilan hidupnya.
2.mendampingi seminaris untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang sehat secara fisik maupun psikis, dewasa secara manusiawi maupun kristiani, sehingga seminaris memiliki kesiapsiagaan untuk menanggapi panggilan Tuhan.
3.melaksanakan kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara efektif dan efisien agar kompetensi seminaris berkembang secara optimal sehingga seminaris memiliki bekal yang memadai untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan imamat berikutnya.
NILAI-NILAI DASAR
Kegiatan pendidikan di Seminari dilaksanakan dengan mengedepankan dan mendasarkan diri pada nilai-nilai dasar, antara lain: iman, harapan, kasih, kejujuran, kesetiaan, kedisiplinan, tanggungjawab, solidaritas, keadilan, dan pelayanan.
Sumber: Web Resmi Mertoyudan
Alamat Lengkap :
Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan
SMA Seminari Mertoyudan
Jl.Mayjend. Bambang Soegeng Mertoyudan,
Kotak Pos 103 Magelang 56101
Telepon (0293) 326718; Fax. (0293) 325057.
sejarahnya panjang.. namun sangat menarik.. paling suka sama pastur2 dari SJ.. saat homili n mengajar (dosen)
BalasHapus